
Menjelang 17-an mari membahas pelem buatan dalam negeri. “Aku cinta, Anda cinta, semua cinta, buatan Indonesiaa...”
Ungu Violet
Film Indo pertama yang gue tonton setelah ARISAN. Alasan pertama yang bikin gue t’gerak buat nonton film ini adalah judulnya, UNGU VIOLET (secara gue suka warna ungu gitu). Alasan kedua adalah sutradaranya, Rako Prijanto, itu yang bikin puisi2 indah di film A2DC. Pastinya atmosfir film ini sendu-sendu gimanaaa gitu. Alasan ketiga adalah soundtracknya, “menanti sebuah jawaban”, sangat menusuk di hati.
Setelah nonton memang bener nuansa filmnya sendu. Seorang cowok yang lagi patah hati jatuh cinta sama cewek sederhana penjaga tiket busway yang dia orbitkan jadi foto model terkenal. Si cowok yang penderita kanker stadium 4 sadar umurnya pendek akhirnya harus nyakitin si cewek dengan ninggalin dia begitu saja.
Hal-hal menarik yang gue temuin di film ini adalah:
- Pemeran utama pria, karakter wajahnya unik. Nggak terlalu ganteng tapi laki banget dan mellow2. Bahasa tubuhunya masih agak kaku tapi begitu dia akting bareng Dian Sastro jadi kepancing lebih relaks.
- Pemilihan lokasinya yang beda. Masih di Jakarta juga sih, tapi buat gue yang terbiasa lihat daerah selatan pemandangan di film ini terasa ”baru”.
- Dialog Dian Sastro & Rima Melati lewat telpon. Karakter Dian yang udah sukses jadi model jadwalnya padat banget sampe nggak sempet ke rumah eyangnya yang lagi ulang tahun. Di tengah-tengah acara peragaan busana Dian curi2 waktu telepon eyangnya buat ngucapin selamat ulang tahun. Walau sedikit menyindir kesibukan cucunya, sang eyang nasehatin cucu tercinta untuk jaga diri baik-baik dengan nada suara yang lemah lembut penuh kasih. Sementara di ujung sana san cucu cuma bisa diam menahan tangis. Oohh...
- Akhir ceritanya walau sudah agak ketebak, tetap ada “kejutan” yang menutup film ini dengan manis.
Di jaringan 21 filmnya memang udah “turun gunung” dari kemaren-kemaren, jadi tunggu VCD/DVD aja kali yeee. Walau nggak sefenomenal A2DC or Arisan tapi cukup t’utama bagi para penganut aliran “menye-menye mellow-mellow” ;)
Gie
Dua jempol buat Miles yang jeli banget dalam pemilihan pemain. Setiap orang bisa munculin karakter yang mereka perankan. Detail-detailnya gila banget, dari setting, musik, baju sampai alisnya Nicholas Saputra yang dibikin “mencuat” kayak orang Cina. Yang agak misleg mungkin dandanan Wulan Guritno yang masih berbau-bau jaman sekarang.
Gue nggak terlalu familiar dengan kisah kehidupan Soe Hok Gie. Sempet dengar namanya juga karena art director gue dulu punya bukunya “Catatan Seorang Demonstran” (nyesel juga seh dulu nggak sempet minjem :p). Gue menikmati film ini dan nggak nyangka kalau durasinya 2 jam lebih. Again, chemistry antar pemainnya benar-benar mantap! Bahkan Robby Tumewu yang perannya “irit dialog” aja bisa m’berikan performa yang menggetarkan.
Adegan paling memorable buat gue adalah waktu Gie remaja berusaha keras belain temannya yang sering dipukulin tantenya. Saat si teman ini (Han or something namanya) ngabur ke rumah Gie, semua orang keliatan nggak mau ikut campur, takut nanggung resiko. Kecuali Gie. Di sini kita udah diperkenalkan sama karakternya Gie yang nggak suka liat orang tertindas. Adegan yang paling bikin nangis hati teriris tentu terjadi pada akhir film saat Ira (Sita RSD) baca surat dari Gie yang pada saat itu sudah dijemput maut di Semeru. “Aku ingin mati di pangkuanmu sayang...” Aahh...menyayat sekali.
Gie masih beredar di jaringan 21. Kemaren seh liat di PIM masih ada tapi spertinya nggak semua 21 muter film ini (di Wijaya nggak ada). Hayo, hayo segera nonton! Situ nggak bakalan nyesel deh!