Kamis, 27 April 2006

Gajah Mada buku 1 & 2

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Langit Kresna Hariadi
Gajah Mada (buku 1 & 2)

Tenang…tenang…ini bukan buku pelajaran sejarah jaman sekolah. Ini kayak kita baca novel biasa kok.

Yang namanya kekuasaan itu memang suka bikin masalah dari jaman baheula. Jegal menjegal, bunuh membunuh, menggunting dalam lipatan dan sejenisnya bakal dilakuin kalo memang itu yang harus ditempuh demi dapat jabatan. Kalau ingat pelajaran sejarah dulu tentang kerajaan2 di Indonesia, pasti selalu ada cerita pemberontakan, dendam turun temurun, iri hati dll yang semunya menuju ke satu arah, kekuasaan. Nggak beda sama cerita di dua buku ini. Buku pertama, Gajah Mada. Buku kedua, Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara.

Buku pertama: Kejadiannya waktu Majapahit masih diperintah Jayanegara. Gajah Mada belum jadi Mahapatih, masih pimpinan pasukan khusus Bhayangkara (istilahnya bekel). Sekelompok orang yang bergelar Dharmaputra Winehsuka dengan pimpinannya, Ra Kuti, mencoba memberontak menggulingkan raja. Melalui pertempuran yang sengit mereka bisa menguasi istana, namun raja Jayanegara berhasil kabur bersama pasukan Bhayangkara. Melalui perjuangan yang berat, harus ngumpetin raja ke tempat terpencil, Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara berhasil melumpuhkan pemberontakan tersebut. Semua pimpinan Dharmaputra Winehsuka meninggal kecuali Ra Tanca yang menyerahkan diri sebelum dibunuh.
Saat Jayanegara kembali memerintah, nggak disangka justru Ra Tanca yang berhasil ngebunuh raja. Ra Tanca ini seorang tabib paling top di Majapahit. Waktu disuruh ngobatin Jayanegara yang lagi sakit dia malah meramu obat beracun. Jayanegara mati, Ra Tanca dibunuh sama Gajah Mada yang geram lihat rajanya dibunuh di depan mata semua anggota keluarga.

Buku kedua: Jelas ini lanjutan kisah Majapahit setelah ditinggal rajanya. Masalahnya sekarang siapa yang bakal menggantikan kedudukan Jayanegara? Karena dia nggak menikah, nggak punya keturunan, calon penggantinya hanya 1 diantara 2 adek perempuan Jayanegara, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat yang biasa disebut sekar kedaton. Para ibu ratu kesulitan menentukan pilihan. Gajah Mada, yang pangkatnya udah jadi Patih Daha, memberikan usul untuk menunda dulu penunjukkan calon pengganti raja. Alasannya nggak lain nggak bukan untuk menghindari pemberontakan terjadi lagi. Pertimbangan lainnya, Gajah Mada curiga sama kekuatan di balik para calon suami para sekar kedaton itu. Kali-kali aja mereka punya agenda t’sembunyi saat calon istri mereka udah jadi ratu.
Kecurigaan ini benar adanya. Karena tak lama setelah terbunuhnya Jayanegara banyak kejadian aneh menimpa Majapahit. Ditambah lagi ada kabar tentang sebuah perkumpulan di sebuah daerah yang berniat menggerogoti Majapahit.

Jalan cerita kedua buku ini penuh kejutan. Di bagian-bagian awal kita dibuat bertanya-tanya apa sih hubungan tokoh ini sama tokoh lainnya? Masuk ke bagian pertengahan sampai akhir bikin kita melongo dan komentar “ooh…ternyata si itu…begitu toh…” Deskripsi cerita perang, penyelamatan Jayanegara, kucing-kucingan sama pasukan pemberontak, keren abis! Penulisnya bisa membawa kita seolah-olah terlempar ke masa itu. Kalimat-kalimatnya runtun dan indah bahkan di saat bermaksud menghina seseorang (“Kamu sudah tua, Ki Pakering. Pikirkan lebih dulu sebelum memutuskan melarikan diri. Bertanyalah pada napasmu apakah masih punya kemampuan untuk mendukung niatmu.”) Tentu saja yang namanya cinta-cintaan udah ada juga di jaman Majapahit. Kebetulan para sekar kedaton itu diceritakan punya wajah cantik jelita dan tentu saja banyak yang naksir. Tapi namanya masih keturunan raja, mereka nggak boleh sembarangan milih calon suami. Harus sesama darah biru tentunya dan sudah pasti melalui perjodohan. Akibatnya ada yang puas, ada yang enggak. Ada yang harus mengalami kisah kasih tak sampai.

Silakan cari di toko buku ternama di kota Anda dan siap-siap ternganga membaca Gajah Mada (haiyah! Sok rhyming).


(“Kesibukan yang harus ia lakukan selanjutnya adalah berusaha dengan sekuat tenaga mengikat jantungnya agar tidak bergerak liar” – Gajah Mada buku 2, h.468)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar