Bacaan hari Minggu paling asyik
adalah kolomnya Samuel Mulia di harian Kompas. Ringan, menarik, ”ngota”,
nyinyir bikin nyengir sambil mikir, ”iya, bener juga ya”. Gue udah jatuh cinta
sama gaya tulisan om Samuel ini sejak baca rubrik NB di majalah A+. Ini gue
posting tulisannya di Kompas Minggu kemaren (7/05).
Gue setuju banget sama paragraf terakhirnya. Selamat nyengir 
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baju Pengantin
Oleh Samuel Mulia
Penulis mode dan gaya hidup
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0605/07/urban/2628708.htm
------------------------------
Beberapa bulan lalu saya hadir di acara peragaan busana pengantin
karya Biyan. Ini kali pertama saya duduk untuk melihat gaun-gaun yang
senantiasa diimpikan setiap perempuan. Katanya, gaun pengantin
diharapkan hanya dipakai sekali saja, dan amit-amit seumur hidup tak
perlu memakainya lagi. Saya tak tahu pendapat Elizabeth Taylor
mengenai hal yang satu ini.
Sambil menyaksikan karya Biyan malam itu, saya mengatakan kepada
seorang editor mode majalah kondang yang kebetulan duduk di sebelah
saya bahwa menjadi perempuan itu sungguh sebuah keberuntungan. Mereka
memiliki kesempatan bisa memakai pakaian segala rupa, warna dan
bentuk. Belum lagi bicara soal sepatu dan tas.
Maka, sering saya merasa terenyuh melihat seorang perempuan
berpakaian sekadarnya saja, yang penampilannya di nomorduakan dan tak
menikmati anugerah yang besar itu. Bayangkan, di luar pakaian yang
khusus ditujukan untuk perempuan, mereka masih bisa memakai celana
panjang seperti celana panjang pria.
Sementara Sharon Stone terlihat memikat dengan kemeja pria di ajang
Oscar, teman perempuan saya malah memakai jam tangan laki-laki yang
lebih besar dari lengannya. Semua itu tidak mengundang orang untuk
mengatakan mereka banci.
Mau jadi perempuan
Saya? Jangankan pakai jam tangan perempuan apalagi mau mengenakan rok
bawah berlipit, atau long dress, saya mungkin harus demikian
menderitanya dikatakan banci. Dan siulan-siulan meleceh, "Aiiii… mau
ke mana tante."
"Memang elo mau jadi perempuan?" kata editor mode itu. Saya cuma bisa
tersenyum. Masalahnya bukan soal mau jadi perempuannya, melainkan
ingin kesempatan punya kehidupan lebih "berwarna" melalui pakaian
yang saya kenakan.
Banyak teman perempuan saya sudah seperti pungguk merindukan gaun
pengantin, termasuk saya. Merindukan memakai gaun pengantin
maksudnya. Masalahnya kami tak punya seseorang yang mau diajak kawin.
Seorang teman perempuan malah sudah siap menikah sejak lulus kuliah
dan sudah memasang ancang-ancang mengenai calon suami. Ia mengatakan,
kalau pasangannya kaya, ia ingin memesan gaun pengantin di Carolina
Herrera. Kalau sama sekali tak kaya, tak perlu pakai apa-apa. Lha
wong tak punya uang. Menurut dia, nanti calon suaminya malah stres
harus utang gaun pengantin. Saya membayangkan di depan altar
pasangannya dengan lantang mengucapkan I do. Maksud saya, Yes I do,
saya ngutang.
Berani mencintai?
Gaun pengantin memang mudah dipesan, sementara pasangan hidup sudah
dipesan ke beberapa teman, delivery tak kunjung datang. Mungkin sudah
keburu termakan teman. Teman yang satu menyeletuk, "Mesen pizzaaaa…
kali."
Karena saya juga lajang—dan pernah jalang—dan kini sudah mulai lapuk
dimakan rayap, saya juga sempat deg-degan sebab masih sendiri. Saya
juga ingin memakai baju pengantin, masak cuma pakai setelan jas ke
ruang rapat dan memakai setelan resmi ke acara hajatan perkawinan
orang lain.
Seorang teman menyarankan agar saya mencari pasangan di perkumpulan
para single. Ia sendiri sudah lama menjadi anggota di beberapa
perkumpulan para lajang meski selama ini nasib baru memberinya
kesempatan keluar masuk. Maksud saya, keluar single, masuk single.
Ternyata susahnya setengah mati mencari pasangan, terutama yang mau
setia menjadi pasangan hidup, dan bukan pasangan yang bertahan sampai
saat sale di Gucci berakhir. Persaingan cukup ketat sekarang ini
seperti susahnya jualan mobil.
"Ya nek, saingan kita sekarang enggak cuma perempuan, tapi gay juga,"
kata teman perempuan saya. Harus saya akui, beberapa teman pria saya
menikah dengan perempuan, tetapi punya "istri simpanan" berjakun
juga.
Beberapa waktu lalu teman saya berteriak-teriak di telepon sebab
suaminya angkat kaki dari rumah untuk seorang perempuan yang sama
tuanya, tetapi membuat si suami merasa bahagia. Sang suami
mengatakan, dia ingin mencari kebahagiaan. Saya heran ada orang yang
mencari kebahagiaan di luar rumah, lha wong kebahagiaan selalu mulai
dari dan berakhir dalam diri sendiri. Mungkin ia lupa dirinya
sendiri.
Saya mengingat komentar Bams dari grup Samson yang diwawancarai
sebuah stasiun televisi. Ia mengatakan, bila seseorang berani
mencintai, ia juga harus berani menerima hal menyakitkan. Saya
setuju. Saya berani mencintai, maka saya harus berani tersakiti saat
menunggu waktu datangnya pasangan saya. Saat saya harus menunggu
waktu yang tepat mengenakan blacktie pada hari istimewa itu dan
mengatakan dengan siap luar dalam, I do.
Itu sama dengan keberanian saya
mengalami menjadi bayi, remaja,
dewasa, kehilangan keperjakaan, dan kemudian tua serta berkerut.
Kalau saya berani dan senang jadi remaja dengan wajah sekencang
kemeja yang baru di-laundry, mengapa saya tidak berani untuk menjadi tua dan
menghilangkan kerut yang berserakan di seputar wajah? Saya mestinya bersyukur
bisa secara lengkap melalui setiap tahap kehidupan manusia (true, so, so true!)